III. Pelaksanaan Hukum Waris Islam di Indonesia
Sejak
berdirinya kerajaan-krajaan Islam di Nusantara (Demak dan sebagainya) dan juga
pada zaman VOC, hukum Islam sudah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam.
Karena
itu, pada waktu pemerintah kolonial Belanda mendirikan Pengadilan Agama.[10]
Di Jawa dan Madura pada tauhun1882 (Stb. 1882 Nomor 152) para pejabatnya telah
dapat menentukan sendiri perkara-perkara apa yang menjadi wewenangnya, yakni
semua perkara yang berhubungan dengan perkawinan, perceraian, mahar, nafkah,
sah tidaknya anak, perwalian, kewarisan, hibah, sedekah, Baitul Mal, dan
wakaf.[11]
Sekalipun wewenang Pengadilan Agama tersebut tidak ditentukan dengan jelas.
Pada
tahun 1937, wewenang pengadilan agama mengadili perkara waris dicabut dengan
keluarnya Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 untuk jawa dan Madura dan Stb. 1937 Nomor
638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.[12]
Pengadilan
Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan sampai Belanda dan Jepang
meninggalkan Indonesia belum terbentuk secara resmi. Namun ia (pengadilan
agama) tetap menjalankan tugasnya sebagai bagian dari Pengadilan Adat atau
Pengadilan Sultan. Baru pada tahun1957 diundangkan PP Nomor 45 Tahun1957 yang
mengatur Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura dan Kalimantan Selatan dengan
wewenang yang lebih luas, yaitu disamping kasus-kasus sengketa tentang
perkawinan juga mempunyai wewenang atas waris, hadhanah, wakaf, sedekah,
dan Baitul Mal. Tetapi peraturan yang menyatakan bahwa putusan
Pengadilan Agama harus dikuatkan oleh Pengadilan Umum tetap berlaku.[13]
Menurut
Daniel D. Lov, seorang sarjana Amerika yang menulis buku Islamic Courts in
Indonesia, hasil penelitiannya pada Pengadilan Agama di Indonesia, bahwa
pengadilan agama di Jawa dan Madura sekalipun telah kehilangan kekuasaanya atas
perkara waris tahun 1937, namun dalam kenyataanya masih tetap menyelesaikan
perkara-perkara waris dengan cara-cara yang sangat mengesankan. Hal ini terbukti,
bahwa Islam lebih banyak yang mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama
daripada ke Pengadilan Negeri.[14]
Dan penetapan Pengadilan Agama itu sekalipun hanya berupa fatwa waris yang
tidak mempunyai kekuatan hukum, tetapi kebanyakan fatwa-fatwa warisnya diterima
oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Bahkan di Jawa sudah sejak lama fatwa waris
Pengadilan Agama diterima oleh notaris dan para hakim Pengadilan Negeri sebagai
alat pembuktian yang sah atas hak milik dan tuntutan yang berkenaan dengan itu.
Demikian pula halnya dengan pejabat pendaftaran tanah di Kantor Agraria.[15]
Pada
tahun 1977/1978 Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerja sama dengan Fakultas
Hukum Universita Indonesia mengadakan penelitian di lima daerah, yakni D.I.
Aceh, Jambi, Palembang, DKI Jaya, dan Jawa Barat. Dan hasilnya antara lain
adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat Islam di lima daerah tersebut
yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak 91,35%,
sedang yang menghendaki berlakunya hukum waris adat sebanyak 6,65%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka
yang memilih Pengadilan Agama 77,16%, sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri
15,5%
Kemudian
kedua lembaga tersebut di atas mengadakan penelitian pada tahun 1978/1979 di
sembilan daerah, yakni : Jakarta Barat, Kota Cirebon, Kota Serang, Kota
Pekalongan, Kota Semarang, Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Mataram dan
sekitarnya, N.T.B., dan Kota Banjarmasin. Dan hasilnya antara lain adalah
sebagai berikut :
1. Masyakarat Islam di sembilan daerah
tersebut yang menghendaki berlakunya hukum waris Islam untuk mereka sebanyak
82,9%, sedangkan yang menghendaki berlakunya hukum waris adat bagi mereka hanya
11,7%
2. Kalau terjadi sengketa waris, maka mereka
yang memilih Pengadilan Agama mengadili kasus warisnya sebanyak 68,3%,
sedangkan yang memilih Pengadilan Negeri sebanyak 27,7%.
Karena
itu apabila sengketa warus yang terjadi antara orang Islam diajukan ke
Pengadilan Negeri, maka seharusnya diputus menurut hukum waris Islam sesuai
dengan agama yang bersangkutan berdasarkan isi pasal 131 dan juga Keputusan
Mahkamah Agung Nomor 109K/Sip/1960 tanggal 20-9-1960, yang menyatakan bagi
golongan pribumi berlaku hukum adat, sedangkan hukum faraid (hukum waris
Islam) diberlakuka sebagai hukum adat, karena merupakan the living law
dan menjadi cita-cita moral dan hukum bangsa Indonesia.[16]
Karena
itu, patut disesalkan apabila kasus-kasus warisan keluarga Muslim seperti kasus
warisan H. Subhan Z.E. diputus oleh Pengadilan Negeri menurut hukum adat pada
tanggal 16 Maret 1973 (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dengan pertimbangan
antara lain, “Walupun pewaris/almarhum H. Mas Subhan adalah seorang tokoh Islam
di Indonesia tidak berarti dapat diberlakukan hukum waris Islam oleh karena
almarhum/pewaris berasal dan tempat tinggal di Jawa”.
Jelaslah,
bahwa hakim Pengadilan Negeri yang mengadili kasus H. Subhan Z.E. tersebut
masih menganut teori resepsi yang telah “usang” itu. Sebab UUD 1945 sebagai
konstitusi RI dengan sendirinya telah menghapus Indische Staatsregeling sebagai
konstitusi yang dibuat pemerintah kolonial Belanda untuk Hindia Belanda dahulu.[17]
Sebagai salah satu fakta yang menunjukkan teori resepsi telah ditinggalkan,
ialah UU Perkawinan Nomor 1/1974. Sebab di dalamnya terdapat beberapa pasal dan
penjelasannya yang menunjukkan peranan agama untuk sahnya perkawinan dan
perjanjian perkawinan dan sebagainya tanpa ada embel-embel “yang telah diterima
oleh hukum ada”.[18]
IV. Penutup
Dari
uraian yang telah dikemukakan di atas, dapatlah disampaikan beberapa kesimpulan
dan saran/harapan sebagai berikut :
1. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya
termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam
Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan
mereka terhadap agama Islam. Karena itu, hukum Islam tersebut hendaknya
dijadikan sumber yang utama untuk pembentukan hukum nasional (mengingat
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan kesadaran hukum agamanya), di
samping hukum-hukum lain yang hidup di negara Indonesia
2. Di Indonesia hingga kini belum ada
kitab/himpuna hukum Islam yang lengkap terutama mengenai hukum keluarga Islam
termasuk hukum waris Islam Indonesia, baik yang tradisional maupun yang modern.
Karena itu, hendaknya para ulama dan cendekiawan Muslim segera menyusun Himpunan
Hukum Islam tersebut tanpa terikat dengan suatu madzhab tertentu, tetapi
hukum Islam tersebut harus bisa memenuhi rasa keadilan, sesuai dengan
kemaslahatan umat, dan kemajuan zaman.
3. Akibat politik hukum pemerintah kolonial
Belanda yang hendak mengikis habis pengaruh Islam dari negara jajahannya –
Indonesia, maka secara sistematis step by step Belanda mencabut hukum
Islam dari lingkungan tata-hukum Hindia Belanda. Dan akibat politik hukum Belanda
yang sadis itu masih dirasakan oleh umat Islam Indonesia sampai sekarang.
Karena itu, sesuai dengan semangat Orde Baru yang bertekad melaksanakan
Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni, maka hendaknya produk-produk
hukum warisan kolonial dan warisan Orde Lama, dapat segera dicabut dan diganti
dengan hukum nasional yang bisa memenuhi rasa keadilan dan kesadaran hukum
rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
4. Khusus hukum waris Islam yang ternyata
diterima dan dikehendaki berlakunya oleh umat Islam di semua daerah yang telah
diteliti oleh BPHN dan Fakultas Hukum UI pada tahun 1977-1979, dan
praktek-praktel Pengadilan Agama dalam hukum waris Islam yang sangat
mengesankan; maka sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, hendaknya kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama
disejajarkan dengan Pengadilan Negeri. Karena itu, UU tentang Struktur dan
Yurisdiksi Pengadilan Agama yang akan diundangkan nanti benar-benar menempatkan
kedudukan Pengadilan Agama sejajar dengan Pengadilan Negeri dan wewenang
Pengadilan Agama sekurang-kurangnya dikembalikan seperti semula sebelum ada
teori resepsi Snouck Hurgronje. Sebab teori resepsi ini bertentangan dengan
ajaran Islam. Sebaliknya teori reception in complexuvan de Berg itulah
yang sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Moch. Koesnoe, Perbandingan antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum
Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan
Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980.
Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia Menurut Propinsi,
Seri L No. 3, Tabel 6. Cf. Tabel 9.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur
Cahaya, 1983. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum
Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982.
Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar
al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1975.
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984.
Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya dalam Memasuki Abad XV
Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981.
___________, “Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia”, Al-Mizan, No.
2 Tahun I, 1983.
Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia,
Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada, 1963.
Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia”, Al-Mizan,
Nomor 3 Tahun I, 1983.
Muhammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta, Yayasan Risalah, 1984.
[1] Mengenai hukum Islam, hukum adat, hukum Eropa yang
berlaku di Indonesia dewasa ini, vide Moch. Koesnoe, Perbandingan
antara Hukum Islam, Hukum Eropa dan Hukum Adat. Seminar Pembinaan Kurikulum
Hukum Islam di Perguruan Tinggi, Badan Kerjasama PTIS, Kaliurang, 1980, hlm.
1-20
[2] Berdasarkan sensus penduduk tahun 1980, penduduk
Indonesia menurut agama berjumlah 147.490.298 jiwa yang beragama Islam 125.462.176
jiwa (87,09%), vide Biro Pusat Statistik, Penduduk Indonesia
Menurut Propinsi, Seri L No. 3, Tabel 6, hlm. 20-21. Cf. Tabel 9, hlm.
26-27
[3] Mengenai pandangan Islam terhadap adat/hukum adat,
vide Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, Yogyakarta, Nur
Cahaya, 1983, hlm. 27-34. Cf. Sajuti Thalib, Receptio A Contrario
(Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam), Jakarta, Bina Aksara, 1982, hlm/
65-70
[4] Vide Muhammad Sallam Madkur, Al-Magkhal lil
Fiqh al-Islamy, Cairo, Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1960, hlm. 211-212. Dan
untuk memahami/mencari hikmah di balik ketetapan suatu hukum Islam, vide M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975,
hlm. 380-404
[5] Perhatikan al-Qur’an Surat al-Nisa ayat 11 dan 12
[6] Vide Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum
Kewarisan dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung, 1984,
hlm. 66
[7] Ibid., hlm. 57
[8] Mengenai sebab-sebab timbulnya perbedaan
pendapat/fatwa hukum, vide Masjfuk Zuhdi, Ijtihad dan Problematikanya
dalam Memasuki Abad XV Hijriyah, Surabaya, Bina Ilmu, 1981, hlm. 16-17. Dan
mengenai metode ijtihad yang dipakai oleh Imam Mazhab Empat, Ibid., hlm.
22-26
[9] Vide Muhammad Sallam Madkur, op.cit.,
hlm. 118-127
[10] Nama resminya Priester Road (Pengadilan
Pendeta), nama yang asing bagi umat Islam Indonesia sendiri, dan pemberian nama
yang salah, karena Islam tak mengenal kependetaan, sebab Islam punya prinsip equality
before God.
[11] Vide Notosusanto, Organisasi dan
Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, Yogyakarta, B.P. Gadjah Mada,
1963, hlm. 10
[12] Perhatikan pasal 2a Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 dan
pasal 3 Stb. 1937 Nomor 638 dan 639 yang menetapkan yurisdiksi Pengadilan Agama
di Jawa-Madura dan Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan.
[13] Bustanul Arifin, “Pelaksanaan Hukum Islam di
Indonesia”, Al-Mizan, Nomor 3 Tahun I, 1983, hlm. 24-25
[14] Ny. Habibah Daud mengadakan penelitian di DKI Jakarta
pada tahun 1976, dan hasilnya bahwa dari 1081 orang hanya 47 orang yang
mengajukan perkara waris ke Pengadilan Negeri (4,35%), dan 1034 orang (96,65%)
mengajukan perkara waris ke Pengadilan Agama. Vide Muhammad Daud Ali,
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta, Yayasan
Risalah, 1984m hlm. 24-25
[15] Ibid., hlm. 25
[16] Vide Masjfuk Zuhdi, “Pelaksanaan Hukum Faraid
di Indonesia”, Al-Mizan, No. 2 Tahun I, 1983, hlm. 39-40
[17] Yang pro dan yang kontra terhadap teori resepsi
Snouck Hurgronje dengan argumentasinya masing-masing, vide Sajuti
Thalib, op.cit., hlm. 19-23, dan hlm. 65-72
[18] Perhatikan pasal 2 (sahnya perkawinan) pasal 29
(sahnya perjanjian perkawinan), dan penjelasan pasal 37 (harta benda suami
istri yang cerai) menunjukkan berlakunya hukum agama termasuk hukum Islam
Indonesia tanpa harus disandarkan berlakunya hukum Islam tersebut pada hukum
adat, tetapi cukup berdasarkan secara langsung peraturan UU yang bersangkutan
dalam hal ini UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Baca preview contoh makalah hukum waris bagian 1 dan contoh makalah hukum.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Makalah Tentang Hukum
dengan judul Contoh Makalah Hukum Waris Bagian 2. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://contohmakalahterbaru.blogspot.com/2013/04/contoh-makalah-hukum-waris-bagian-2.html. Terima kasih!
Ditulis oleh:
Unknown - Kamis, 24 September 2015
Belum ada komentar untuk "Contoh Makalah Hukum Waris Bagian 2"
Posting Komentar